Dari Syari'at Hingga Hakikat
Istighfar, yang berarti mohon ampunan kepada Allah SWT, merupakan tradisi
ritual Islam yang sangat fundamental. Sebab dalam Istighfar itu mengandung
beberapa elemen ruhani, sebagaimana banyak dikutip oleh al-Qur'an maupun Sunnah
Rasulullah SAW. Masalahnya, mengapa Allah dan Rasul-Nya sangat menganjurkan
agar hamba-hamba Allah terus menerus beristighfar dan bershalawat? Apa
hubungannya dengan kehidupan sehari-hari, dan keselamatan kehidupan dunia
akhirat? Di mana posisi Istighfar, baik secara psikologis maupun secara
elementer dalam kosmik ruhani (sufistik) hamba Allah? Inilah yang akan kita
kaji bersama sebagai refleksi setiap kita menggerakkan bibir kita dan
mendetakkan jantung hati kita.
Sejumlah ayat tentang Istighfar atau pertobatan sangat banyak dikutip al-Qur'an
dan Sunnah Rasulullah SAW, misalnya:
"Mereka apabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri,
segera ingat akan Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya.(QS. 3:135).
"Maka barangsiapa memuji Tuhanmu, dan memohon ampunan kepada-Nya, sungguh
Dia Maha penerima Taubat." (QS. 110:3)
".dan orang-orang yang memohon ampun sebelum fajar." (QS. 3:17).
"Maha Suci Engkau Wahai Allah, Tuhanku! Dan dengan segala puji bagi-Mu ya
Allah Tuhanku, ampunilah aku! Sesungguhnya Engkau Maha Menerima Taubat, lagi
Maha Pengasih." (HR. al-Hakim).
"Barang siapa memperbanyak istighfar, maka akan diberi kelapangan dalam
setiap kesusahan dan jalan keluar dari kesempitan. Dan dianugerahi rezeki dari
jalan yang tiada disangka-sangka." (HR. Abu Dawud dan Nasa'i).
"Sungguh hatiku didera kerinduan yang sangat dalam, sehingga aku
beristighfar seratus kali setiap hari." (HR. Muslim).
"Meski dosa-dosamu sebanyak buih lautan, sebanyak butir pasir di padang
pasir, sebanyak daun di seluruh pepohonan, atau seluruh bialangan jagad
semesta, Allah SWT tetap akan selalu mengampuni, bila engkau mengucapkan doa
sebanyak tiga kali sebelum engkau tidur: Astaghfirullahal 'Adzim al-Ladzii
Laailaaha Illa Huwal Hayyul Qayyuumu wa Atuubu Ilaih. (Aku memohon ampunan
kepada Allah Yang Maha Agung, tiada Tuhan selain Dia Yang Maha Hidup dan
Memelihara (kehidupan), dan aku bertobat kepada-Nya)." (HR. at-Tirmidzi).
Makna Terdalam
Masih puluhan ayat dan hadits yang membincangkan keutamaan Istighfar. Dalam
ucapan yang sering diwiridkan oleh beliau, antara lain: "Aku Mohon ampunan
kepada Allah Yang Maha Agung"
Ucapan istiughfar ini saja mengandung beberapa makna yang dalam:
Pertama, hamba yang beritighfar mengakui eksistensi kehambaannya di hadapan Allah
SWT. Sebab hakikat hamba adalah sosok tak berdaya dan tak berupaya, sekaligus
gerak-gerik hamba yang muncul dari hamba itu sendiri tanpa penyertaan Allah,
berarti adalah ucapan dan tindakan yang salah dan penuh kealpaan.
Kedua, hamba yang beritighfar berarti mengakui tajallinya Allah dalam Asma'
Keagungan-Nya. Karena Pengampunan Allah itu sendiri merupakan manifestasi dari
Kemahaagungan Allah SWT. Musyahadah hamba kepada Asma' Keagungan-Nya, merupakan
prestasi paling elementer dalam memandang, siapa sebenarnya dan apa hakikat
hamba Allah itu sendiri.
Ketiga, Istighfar berarti kefanaan hamba Allah, lebur dalam eksistensi
Keagungan Allah Ta'ala. Orang yang tidak pernah beristighfar tidak pernah mampu
memasuki peleburan Ilahiah, yang disebut sebagai maqam fana' dalam tasawuf. Dan
Istighfar menghantar "kesirnaan" hamba, sampai pada totalitas yang
hakiki, hingga mencapai tahap al-baqa'. Yaitu Penyaksian Keabadian Ilahi dalam
Keagungan-Nya. Dengan kata lain, Istighfar berarti kefanaan sifat-sifat tercela
hamba, kesirnaan dosa-dosa hamba, kehancuran nafsu-nafsu buruk hamba, menuju
kebaqaan sifat-sifat terpuji, menuju nafsu-nafsu muthmainnah, radhiyah dan
mardhiyah, hingga nafsu ma'rifah.
Keempat, Istighfar berarti memupus sifat-sifat ego hamba. Sebab sehebat apa pun
prestasi hamba di bidang materi maupun ruhani, tidak bisa mengklaim bahwa
prestasi itu semata sebagai hasil usaha hamba. Sebab tanpa anugerah Allah,
usaha mencapai puncak prestasi itu tidak akan pernah terwujud. Karena itu
pengakuan total bahwa, nafsu egois itu sebagai pihak yang berperan dalam segala
usahanya adalah suatu tindakan dosa.
Kelima, Istighfar merupakan tindakan yang sangat dicintai oleh Allah SWT.
Mahabbatullah tidak pernah terjadi manakala hamba tidak beristighfar setiap
saat. Oleh sebab itu, hamba yang beristighfar menumbuhkan rindu dendam kepada
Allah, karena memang cinta-Nya Allah turun kepada hamba-Nya yang beristighfar.
Sebagaimana dalam al-Qur'an ditegaskan, "Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan diri."
Keenam, orang yang beristighfar sangat dicintai oleh Nabi SAW, sebab Istighfar
adalah tradisi kecintaan Nabi SAW. Istighfar berkait erat dengan "proses
penyucian diri", karenanya Istighfar adalah prasyarat bagi
"Tazkiyatun Nafsi".
Ketujuh, Istighfar memiliki maqamat dalam kualifikasi ruhani hamba Allah. Maqam
pertama, seseorang beristighfar dari segala tindakan dosanya yang dilakukan.
Maqam kedua, seseorang beristighfar dari segala kealpaannya sehingga ia tidak
lagi melakukan dzikrullah. Maqam ketiga, seseorang beristighfar dari segala hal
selain Allah yang memasuki ruang jiwanya.
Kedelapan, Istighfar melahirkan perdamaian kemanusiaan, karena dalam Istighfar
pun ada macam Istighfar yang bersifat sosial kemanusiaan, yaitu memohonkan ampunan
kepada sesama hamba Allah.
Istighfar Individu dan Sosial
Dalam ritualitas vertikal, seorang hamba tidak hanya meraup kebahagiaan di
hadapan Allah, tanpa ia menyertakan sesama umat beriman. Justru kualitas
keimanan seseorang sangat berkait erat dengan kepedulian ruhaninya terhadap
orang lain. Keteladanan Rasulullah SAW, ketika saat Yaumul Mahsyar memberikan
cermin kepada umatnya, bahwa kulitas ruhani Rasulullah SAW, yang melebihi para
Nabi dan Rasul, terpantul pada pembelaannya akan nasib umat di hadapan Allah.
Suatu sikap yang tidak dimiliki oleh para pemimpin dan para Nabi/Rasul. Sebab
ketika para hamba Allah meminta syafa'at kepada para Nabi, mulai Nabi Adam as,
hingga Isa al-Masih as, ternyata mereka enggan, disebabkan mereka tidak
berdaya, terutama memikirkan nasibnya sendiri-sendiri. Berbeda dengan Nabi
Muhammad SAW, yang justru tidak memikirkan nasib dirinya di hadapan Allah,
malah yang terucap hanya kalimat: "Umatii.umatii..umatii."
(umatku.duh, umatku.umatku.).
Justru pembelaan Nabi Muhammad SAW itulah yang memberikan kewenangan padanya,
syafa'at besar yang bisa menyelamatkan umat dari siksa Allah SAW. Oleh sebab
itu, Islam mengajarkan agar dalam permohonan ampunan, juga menyertakan
permohonan ampunan untuk sesama umat. Misalnya, Istighfar yang berbunyi:
Astaghfurullahal 'adzim, lii waliwaalidayya, walijami'il huquuqi waajibati
'alayya, walijami'il muslimin wal-muslimaat wal-mu'minin wal mu'minaat
al-ahyaa'I minhum wal-amwaat.
(Aku mohon ampunan kepada Allah Yang Maha Agung, bagiku dan bagi kedua orang
tuaku, dan bagi seluruh orang yang menjadi tanggungan kewajibanku, dan bagi
umat muslimin dan muslimat, dan kaum mu'minin dan mu'minat).
Dari nilai Istighfar di atas memberikan perspektif luar biasa bagi integrasi
dan dinamika sosial secara damai. Hubungan-hubungan sosial akan berlaku dengan
penuh kesejatian hati ke hati, karena hubungan yang bersifat emosional negatif
dinetralisir oleh istighfar sosial di atas.
Makanya, kualitas Istighfar bukan saja ditentukan hubungan yang sangat pribadi
dengan Allah, tetapi juga sejauhmana seorang hamba menghayati Istighfar
sosialnya.
Di Balik Shalawat Nabi SAW
Apa hubungan Istighfar dengan Shalawat Nabi SAW? Mengapa dalam praktik sufi,
senantiasa ada dzikir Istighfar dan Shalawat Nabi dalam setiap wirid-wiridnya?
Hubungan Istighfar dan Shalawat, ibarat dua keping mata uang. Sebab orang yang
bershalawat, mengakui dirinya sebagai hamba yang lebur dalam wahana Sunnah
Nabi. Leburnya kehambaan itulah yang identik dengan kefanaan hamba ketika
beristighfar.
Shalawat Nabi, merupakan syari'at sekaligus mengandung hakikat. Disebut
syari'at karena Allah SWT, memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman,
agar memohonkan Shalawat dan Salam kepada Nabi. Dalam Firman-Nya:
"Sesungguhnya Allah dan para MalaikatNya senantiasa bershalawat kepada
Nabi. Wahai orang-orang beriman bershalawatlah kepada Nabi dan mohonkan salam
baginya." (QS. 33: 56)
Beberapa hadits di bawah ini sangat mendukung firman Allah Ta'ala tersebut :
Suatu hari Rasulullah SAW, datang dengan wajah tampak berseri-seri, dan
bersabda: "Malaikat Jibril datang kepadaku sambil berkata, "Sangat
menyenangkan untuk engkau ketahui wahai Muhammad, bahwa untuk satu shalawat
dari seseorang umatmu akan kuimbangi dengan sepuluh doa baginya." Dan sepuluh
salam bagiku akan kubalas dengan sepuluh salam baginya." (HR. an-Nasa'i)
Sabda Rasulullah SAW: "Kalau orang bershalawat kepadaku, maka malaikat
juga akan mendoakan keselamatan yang sama baginya, untuk itu hendaknya
dilakukan, meski sedikit atau banyak." (HR. Ibnu Majah dan Thabrani)
Sabda Nabi SAW, "Manusia yang paling uatama bagiku adalah yang paling
banyak shalawatnya." (HR. at-Tirmidzi)
Sabdanya, "Paling bakhilnya manusia, ketika ia mendengar namaku disebut,
ia tidak mengucapkan shalawat bagiku." (HR. at-Tirmidzi).
"Perbanyaklah shalawat bagiku di hari Jum'at" (HR. Abu Dawud).
Sabdanya, "Sesungguhnya di bumi ada malaikat yang berkeliling dengan
tujuan menyampaikan shalawat umatku kepadaku." (HR. an-Nasa'i)
Sabdanya, "Tak seorang pun yang bershalawat kepadaku, melainkan Allah
mengembalikan ke ruhku, sehingga aku menjawab salam kepadanya." (HR. Abu
Dawud).
Tentu, tidak sederhana, menyelami keagungan Shalawat Nabi. Karena setiap kata
dan huruf dalam shalawat yang kita ucapkan mengandung atmosfir ruhani yang sangat
dahsyat. Kedahsyatan itu, tentu, karena posisi Nabi Muhammad SAW, sebagai hamba
Allah, Nabiyullah, Rasulullah, Kekasih Allah dan Cahaya Allah. Dan semesta raya
ini diciptakan dari Nur Muhammad, sehingga setiap detak huruf dalam Shalawat
pasti mengandung elemen metafisik yang luar biasa.
Mengapa kita musti membaca Shalawat dan Salam kepada Nabi, sedangkan Nabi
adalah manusia paripurna, sudah diampuni dosa-dosanya yang terdahulu maupun
yang akan datang? Beberapa alasan berikut ini sangat mendukung perintah Allah
SWT :
Nabi Muhammad SAW adalah sentral semesta fisik dan metafisik, karena itu
seluruh elemen lahir dan batin makhluk ini merupakan refleksi dari cahayanya
yang agung. Bershalawat dan bersalam yang berarti mendoakan beliau, adalah
bentuk lain dari proses kita menuju jati diri kehambaan yang hakiki di hadapan
Allah, melalui "titik pusat gravitasi" ruhani, yaitu Muhammad
Rasulullah SAW.
Nabi Muhammad SAW, adalah manusia paripurna. Segala doa dan upaya untuk
mencintainya, berarti kembali kepada orang yang mendoakan, tanpa reserve.
Ibarat gelas yang sudah penuh air, jika kita tuangkan air pada gelas tersebut,
pasti tumpah. Tumpahan itulah kembali pada diri kita, tumpahan Rahmat dan
Anugerah-Nya melalui gelas piala Kekasih-Nya, Muhammad SAW.
Shalawat Nabi mengandung syafa'at dunia dan akhirat. Semata karena filosofi
Kecintaan Ilahi kepada Kekasih-Nya itu, meruntuhkan Amarah-Nya. Sebagaimana
dalam hadits Qudsi, "Sesungguhnya Rahmat-Ku, mengalahkan Amarah-Ku."
Siksaan Allah tidak akan turun pada ahli Shalawat Nabi, karena kandungan
kebajikannya yang begitu par-exellent.
Shalawat Nabi, menjadi tawashul bagi perjalanan ruhani umat Islam. Getaran
bibir dan detak jantung akan senantiasa membubung ke alam Samawat (alam
ruhani), ketika nama Muhammad SAW disebutnya. Karena itu, mereka yang hendak
menuju kepada Allah (wushul), peran Shalawat sebagai pendampingnya, karena
keparipurnaan Nabi itu menjadi jaminan bagi siapa pun yang hendak bertemu
dengan Yang Maha Paripurna.
Muhammad, sebagai nama dan predikat, bukan sekadar lambang dari sifat-sifat
terpuji, tetapi mengandung fakta tersembunyi yang universal, yang ada dalam
Jiwa Muhammad SAW. Dan dialah sentral satelit ruhani yang menghubungkan
hamba-hamba Allah dengan Allah. Karena sebuah penghargaan Cinta yang agung,
tidak akan memiliki nilai Cinta yang hakiki manakala, estetika di balik Cinta
itu, hilang begitu saja. Estetika Cinta Ilahi, justru tercermin dalam
Keagungan-Nya, dan Keagungan itu ada di balik desah doa yang disampaikan
hamba-hamba-Nya buat Kekasih-Nya. Wallahu A'lam.
Para sufi memberikan pengajaran sistematis kepada umat melalui Shalawat Nabi
itu sendiri. Dan Shalawat Nabi yang berjumlah ratusan macam itu, lebih banyak
justru dari ajaran Nabi sendiri. Model Shalawat yang diwiridkan para pengikut
tarekat, juga memiliki sanad yang sampai kepada Nabi SAW. Oleh sebab itu,
Shalawat adalah cermin Nabi Muhammad SAW yang memantul melalui jutaan bahkan
milyaran hamba-hamba Allah bahkan bilyunan para malaikat-Nya.